Pilihan Ganjil atau Genap, Apakah masih Relevan?

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia kembali menegaskan pentingnya hak pilih sebagai fondasi utama demokrasi. Hak untuk memilih dan dipilih adalah hak asasi yang dijamin oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional, seperti Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa diskriminasi1.

Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan pilihan politik, terutama dalam momentum Pilpres. Polarisasi ini tidak hanya terjadi sebelum pemilu, tetapi juga berlanjut setelah pemilu, menimbulkan dampak sosial yang signifikan6.

Mengapa Pengkotak-kotakan Berdasarkan Hak Pilih Berbahaya?

  • Merusak Kohesi Sosial
    Polarisasi politik yang tajam dapat merusak persatuan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa polarisasi di Indonesia, terutama sejak Pilpres 2014, banyak dimanfaatkan oleh aktor politik untuk memobilisasi pemilih dengan cara memecah belah, menyebarkan ujaran kebencian, dan mengeksploitasi keresahan sosial6. Hal ini menyebabkan masyarakat terpecah dalam kelompok-kelompok berdasarkan pilihan politik, mengurangi rasa saling percaya dan memperbesar potensi konflik horizontal.
  • Menurunkan Kualitas Demokrasi
    Ketika masyarakat terkotak-kotak, kualitas demokrasi menurun. Pilihan politik menjadi identitas yang kaku, bukan lagi ekspresi rasional atas preferensi kebijakan. Fenomena ini memperkuat oligarki partai politik dan mengurangi ruang bagi kaderisasi dan munculnya calon-calon pemimpin baru yang berkualitas4. Akibatnya, partisipasi politik menjadi formalitas, bukan partisipasi substantif yang memperkaya demokrasi.
  • Meningkatkan Apatisme dan Menurunkan Partisipasi
    Pengkotak-kotakan menyebabkan sebagian masyarakat merasa tidak terwakili atau bahkan enggan berpartisipasi. Studi menunjukkan bahwa keterlibatan publik dalam proses pencalonan sangat mempengaruhi partisipasi pemilih. Jika masyarakat merasa hanya menjadi objek politik, bukan subjek, partisipasi cenderung menurun2. Data KPU juga menunjukkan bahwa partisipasi pemilih Pilpres 2024 sedikit menurun dibandingkan Pilpres 2019, salah satunya karena rasa keterlibatan masyarakat yang rendah akibat dominasi elite politik dalam penentuan calon3.
  • Mengancam Legitimasi Pemerintah Terpilih
    Ketika masyarakat terbelah dan partisipasi menurun, legitimasi pemerintah hasil pemilu juga menurun. Legitimasi yang rendah berpotensi membuat masyarakat enggan mendukung atau bahkan mengawasi kebijakan pemerintah, membuka peluang bagi kepemimpinan yang otoriter dan minim kontrol publik4.

Penelitian pustaka tentang polarisasi politik di Indonesia (2014-2019) menemukan bahwa polarisasi dipicu oleh strategi aktor politik yang sengaja memanfaatkan isu identitas dan perbedaan pilihan politik untuk kepentingan elektoral6. Polarisasi ini tidak hanya memperuncing perbedaan antar kelompok (misal: Islamis vs pluralis), tetapi juga membuat perbedaan pilihan politik menjadi sumber permusuhan sosial.

Fenomena kotak kosong dalam pilkada juga memperlihatkan bagaimana keterbatasan pilihan akibat dominasi partai politik besar menyebabkan masyarakat kehilangan alternatif, sehingga memilih untuk tidak berpartisipasi atau memilih kotak kosong sebagai bentuk protes4. Kondisi ini memperkuat apatisme dan memperlemah kualitas demokrasi.

Mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan hak pilih dan suara mereka dalam Pilpres 2024 adalah ancaman nyata bagi kohesi sosial, kualitas demokrasi, dan legitimasi pemerintahan. Fenomena ini diperparah oleh strategi politik yang memanfaatkan polarisasi, keterbatasan pilihan akibat dominasi elite politik, dan rendahnya rasa keterlibatan masyarakat246. Oleh karena itu, sangat penting untuk menumbuhkan sikap saling menghormati perbedaan pilihan politik dan membangun partisipasi yang inklusif agar demokrasi Indonesia tetap sehat dan berkelanjutan.